Minggu, 29 April 2018

Cerpen: Cahaya Kampungku

 Bencana longsor tahun kemudian bukanlah insiden pertama yang terjadi di kampungku Cerpen: Cahaya Kampungku

Cahaya Kampungku

By: Wak Jamal

Bencana longsor tahun kemudian bukanlah insiden pertama yang terjadi di kampungku. Sejak saya lahir telah terhitung puluhan kali tragedi ini terjadi.Tapi, longsor kali ini merupakan yang terdahsyat. Tanah berukuran 3×20 meter persegi ambruk akhir tekanan beban yang di pengaruhi gravitasi. Aku yang sedang nyeyak tertidur eksklusif berdiri mendengar gemuruh besar, bagai hujan meteor.

Ranjang tempatku berbaring bergetar andal sehinga menjatuhkanku ke lantai. Semua orang dirumahku berhamburan keluar menyelamatkan diri lantaran menyangka telah terjadi gempa besar. Tepat ketika saya keluar rumah, getaran tersebut berhenti dan betapa terkejutnya aku, daratan di depanku lenyap! Tak hingga 4 meter lagi dari teras, saya telah berada di atas jurang!. Halaman rumahku habis, yang tersisa hanya batang daun kari yang di tanam Ibu berjejer di perkarangan. Longsor ini merambat rapi sepanjang 20 meter dan menghilangkan hak milik tuan tanah bagi beberapa orang orang. Pohon mangga, kelapa, kapuk, dan kembang - kembang porak poranda. Mereka, para keluarga tumbuhan, akarnya tak berpengaruh menahan tanah, malah hanya menambah massa yang selanjutnya turut berpatisipasi dalam terjadinya longsor ini.
 
Walaupun saya bukan pakar Geologi, tidak berarti saya buta Sains. Aku tahu sedikit mengenai insiden alam ini. Longsor yang berada se-depa denganku disebabkan oleh ulah mesin penghisap pasir, yang setiap hari menghisap pasir di desaku.
Menurutku bukan cuma itu penyebab tragedi ini terjadi. Bencana ini merupakan teguran Allah SWT kepada penduduk kampungku. Dia telah murka melihat sikap masyarakat yang tak kunjung sembuh, malah tambah kambuh.

Aku bersyukur, keluargaku selamat pada insiden ini. Rumah yang sederhana masih utuh beserta perabot- perabot di dalamnya, Satu yang nyaris, yaitu antena TV ku. Antena yang terikat dengan batang bambu ikut tejatuh ketika longsor itu. Beruntung antena itu masih menempel dengan kabalnya dan masih tersangkut sehingga saya tingal mengulurnya pelan-pelan dari atas hinga menyentuh tanah.

Lain lagi dengan tetangga sebelahku, kasihan mereka.Separuh rumahnya ambruk sehingga yang tertinggal hanya ruang dapur. Beruntung, sekeluarga pada dikala itu tidak beradah dirumah. Mereka mengunjungi putrinya yang sedang menginap di rumah sakit.

Longsor tahun kemudian telah merengut 15 nyawa dan meludeskan ratusan juta rupiah. Jumlah rupiah ini bukan lah penaksiran dari total harta benda yang hilang berupah tanah, rumah dan pepohonan. Tapi semua itu benaran uang asli, uang yang bernilai ratusan juta rupiah.

Aku tak heran dengan fakta ini, pondok di sebelah kiri rumahku memang sering menjadi markas benda haram, yaitu sabu-sabu. Tepat dini hari, sebelum longsor terjadi. Pondok  itu ramai di kunjungi beberapa orang untuk bertransaksi, mereka yaitu konsumen yang tiba dari bebagai tempat dan si pengedar itu sendiri. Sungguh yang namanya nasib, janjkematian menyapa mereka.  Ditengelamkannya para mahluk itu beserta harta bendanya. Uang, HP, perhiasan, dan motor yang terparkir raib di telan bumi. Paginya tempat tragedi itu telah dipenuhi  warga. Mereka beramai ramai tiba bukan-nya untuk membantu mengevakuasi jenazah, melainkan hanya mencari harta karun yang tertimbun diantara jenajah tersebut. Mereka mengali menggunakan cangkul bahkan ada yang hampir mengenai tangan jenazah.
Kampungku tak jauh dari kata bencana, Januari kemudian petir menyambar gedung kantor kepala desa hingga hangus. 2 orang meningal dunia lantaran terkurung dalam kobaran api. Dua orang tersebut yaitu sekdes dan juru ketik desa.Malang benar dua orang ini, ditemukan menyerupai roti panggang.
Aku berpikir, insiden ini niscaya merupakan peringatan sekaligus membuka kedok korupsi di desaku. Banyak dana pinjaman yang di salurkan pemerintah berhenti pada perut mereka yang buncit. Aku ingat ketika, berkarung beras bulog diangkut ke kendaraan beroda empat pick-up punya kepala desa. Aku bertanya, mengapa tidak dibagikan ke pada warga kampung. Ia secara terang - terang menjawab ingin dijualnya ke pasar.
Anehnya penduduk desa yang di khianati pemerintah desa ini sama sekali tidak peduli. Barangkali mereka telah terbiasa dengan hal hal menyerupai itu.Warga kampung sibuk dengan bisnis sendiri.Tak sanggup pinjaman apapun mereka tetap kenyang. Mereka tak akan cemas, pekarangan ganja telah menjadi kekuatan ekonomi paling utama. Sebagian lagi sibuk membuka praktek perdukunan.
Tinggal-lah saya dengan keluarga beserta sanak saudaraku yang masih beriman.Yang jumlahnya sanggup di hitung mengunakan jari. Perbandingan dengan seluruh penduduk kampung yaitu satu banding sembilan ratus sembilan puluh sembilan. 

Desaku hanya mempunyai satu surau itupun sepi. Jika sholat jum'at, terpaksa kemasjid desa sebelah.
Naas sekali kampungku. Bahkan madrasah tempat saya mengaji sore dulu telah menjadi tempat untuk menggunakan barang haram. Sering kutemui, remaja ngumpul tepi sungai, mereka mabuk -  mabukan sambil mendengar musik DJ. Jika salah satu dari meraka teler,  yang teler tersebut di biarkan saja.
Ketahuilah! Mabuk itu merupakan saudara gila. Meraka tak ada bedanya, hal kurang akil sering terjadi akibatnya.

Pernah dulu  ketika saya masih sekolah SMA. Aku di cegat seorang pereman yang seram. Preman lokal ini membawa pirasat buruk. Dia mengertak, merampas dan ingin menikamku.
           "Kau dak tau siapa saya ha?, sini motor kamu !" hardik preman tersebut.
           "Ampun bang, ini satu - satunya yang saya punya" saya menjawab dengan lemah lembut.
           "Kalau kakak nak duit, janganlah merampok macam ini, kerjalah elok elok, nafkahi anak dan istri" lanjutku lagi.
Begitu polosnya saya dulu. Sampai memberi nasehat kepada seorang  preman yang terang terkunci hatinya, saya tak tau kalau preman ini sudah tak waras, telah di pengaruhi obat- obatan.           
           "Jangan banyak omong, kamu mau makan pisau!", Preman tersebut mengeluarkan pisau lipat. Aku terkejut dan cemas.
           "Ampun bang" Aku menagis tersedu-sedu.

Yang ada dalam pikiranku hanya keluargaku. Aku teringat ucapan ayah dahulu, kalau kita berada pada situasi yang mendesak, bacalah ayat kursi tiga kali. Aku berkeringat membaca ayat kursi didalam hati. Pisau itu semakin dekat. Sungguh! Memang benar kekuasaan Allah. Preman tersebut jatuh dan pingsan tak tahu kenapa. Aku eksklusif kabur dengan motorku.Tak usang kemudian terdengar informasi seorang laki-laki meninggal dengan ekspresi yang berbusa. Setelah mendengar kabar tersebut, gres saya tahu lantaran ia tiba- tiba pingsan. Di terkena serangan jantug yang di akibatkan overdosis sabu sabu. Sehingga, untuk mengobatinya ia harus mengkomsumsi sabu sabu lagi. Bahkan hingga gelap mata ingin membunuh orang.
Mayoritas penduduk desa menekankan perekonomian terhadap perkebunan.Kebanyakan warga menanan cabai, tomat, timun, labu dan sayuran lainnya. Yang kemudian di panen kalau masuk massa panennya. Tapi itu dulu sebelum narkoba tenar di kampungku. Sekarang, warga lebih berkenan menanam ganja dan tembakau.
Di kampungku, sangat sedikit yang tidak pernah merasakan tembakau.Mereka biasanya mengulungnya dengan kertas menyerupai halnya rokok atau menyeduhnya bersama teh bahkan yang unik lagi ada yang mencampurkannya dengan camilan bagus bolu.Adapun pengolahan ganja yang paling unik yaitu mencampurkanya dengan sayur bening. Sungguh ngeri kuliner di desaku.
Banyak remaja usiaku tidak melanjutkan pendidikan. Ada yang selesai SD eksklusif kerja. Yang selesai Sekolah Menengan Atas bisa dihitung mengunakan jari, termasuk saya didalamnya. Angka nikah muda meningkat sepanjang tahun, sehingga pasangan gampang tersebut belum ada sikap remaja untuk membentuk rumah tangga.  Bahkan, pernah kudengar ketika bayi merengek minta susu, ibunya malah asik bermain kelereng.
Kampungku benar - benar berantakan, penduduknya banyak tak mempunyai adat yang baik. Berbagai tindakan kriminal seperti: pencurian, perampokan, perkelahian, mabuk-mabukan, perjudian dan narkoba merambat di seluruh penjuruh desa. Sering kutemui orang - orang yang nekat tapi kurang akil di lingkungan ku, itu tak lepas lantaran imbas obat obatan.
Mereka, para penduduk kampung sudah tak hirau dengan mengembangkan tragedi yang terjadi. Mereka yang masih hidup tetap terus melakukan aktivitasnya. Dan yang mati dibiarkannya. Tidak ada satu orang pun yang bisa memandikan dan men sholatkan mayat di kampungku. Jika ada orang meninggal, mayat dikirim keluar kampung untuk diurus secara benar.
Banyak orang bercerita padaku, kalau ada yang bermimpi seorang gentayangan meminta di buka ikatan kain kafannya. Merinding saya mendengar informasi yang di sampaikan-nya.
Sebagai minoritas, saya berusaha untuk tidak terpengaruh segala hal jelek yang ada di lingunganku. 

Kondisi ku hingga dikala ini sangat baik. Aku mengantungkan diri pada penghasilan ku sendiri yang halal. Aku bekerja sebagai karyawan minimarket di kota. Walaupun honor nya tak seberapa, tapi  cukuplah lah untuk memenuhi kebutuhan hidupku dikala ini. Aku selalu mensyukuri nikmat serta rezeki yang di berikan Allah swt.
Ibuku selalu menasehatiku supaya saya tetap menjadi anak soleh dan selalu membahagiakan orang tua. Ayahku mengancam akan mengusirku kalau sempat melihat saya bermain dengan para remaja kampung
Keluargaku bagaikan cahaya kecil didalam kegelapan. Aku menyinari kegelapan tersebut dengan cahaya yang saya miliki. dengan kemampuan yang saya miliki tersebut, Aku selalu berusaha membimbing belum dewasa di kampungku. Berharap sanggup menanamkan kebaikan sejak dini. Aku mengajar mereka sholat, mengaji, dan berhitung setiap setelah magrib. Aku tak pernah ingin peduli dengan orang remaja yang ada di kampungku. Karena hati meteka sudah mati atau membatu. Kerap saya bernasehat kepada mereka tetapi mereka hanya menganggap omongan ku yaitu omong kosong yang tidak ada arti bagi mereka.
Aku berpikir ingin mengumpulkan uang sebanyak banyaknya dan membangun rumah di tempat lain, kan ku ajak keluargaku untuk ikut pindah dan menetap di sana. Dan ketika saya kembali lagi ke kampung ini, penduduknya telah tobat dan sudah meningalkan perbuatan yang maksiat. Aku berharap kalau kisah Nabi Yunus kembali terjadi di jaman kini ini, saya berharap itu terjadi di kampungku.
Allah menjawab keinginan ku, tapi dengan metode lain. Allah telah membukakan pintu hati para orang bau tanah di kampung. Mereka berbondong-bondong menghantarkan anaknya untuk mengaji dengan ku. Aku menerimanya dengan senang hati. Mereka para orang bau tanah ingin kebodohan cukup hingga diri mereka saja. Mereka menanggap sikap anak remaja mereka yang keterlaluan. Dikarenakan kelalaian orang  yang tidak memasukan anak mereka ke dingklik pendidikan.
 
Madrasah di kampungku kembali di bangun, penduduk desa berangsur membaik. Mereka senang mendengar syair shalawat yang  dilantunkan belum dewasa didikku. Suara mereka yang lucu lucu telah mengetarkan hati siapapun yang mendengarnya. Banyak warga yang luluh hatinya dan tobat nasuha. Surau semakin hari semakin ramai. Sekarang bukan bukan hanya anak anak yang berguru mengaji, tapi juga warga yang banyak sekali usia. Senin kemarin ada seorang remaja meminta pengobatan akan kecanduan terhadap obat obatan, saya bacakan ayat ayat syifa' dan ia merasakan khasiat Ilahi. Remaja ini berangsur sehat dan kini sering menjadi mu’azin di surau.
 
Aku bersyukur kepada Allah, dikarenakan telah mengkaruniakan cahaya dalam hidup. Cahaya tersebut telah mengubah kampungku yang awalnya  sesat. Aku mendapatkan suatu pelajaran dalam hidupku, Yaitu:
 
"Sekecil -kecilnya cahaya niscaya tetap bersinar, meskipun kegelapan yang menyelimutinya setebal jagad raya”

*TAMAT*

*Cerpen ini mempunyai hak cipta, setidaknya kalau ingin menyadur atau copas lebih beretika kalau meminta izin terlebih dahulu.

Load comments